Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Propinsi Aceh - Persyarikatan Muhammadiyah

 Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Propinsi Aceh
.: Home > Berita > MEMBUANG SIAL MENGHARAP KEUNTUNGAN (Kajian Adat dan Budaya Tradisional Aceh)

Homepage

MEMBUANG SIAL MENGHARAP KEUNTUNGAN (Kajian Adat dan Budaya Tradisional Aceh)

Jum'at, 22-03-2013
Dibaca: 4113

 

Banda Aceh (22/3) Perkembangan perilaku adat dan budaya Aceh yang semakin memperlihatkan permasalahan yang serius, karena terjadi percampuran pelaksanaan dan ritual adat dan budaya, antara Islam, Hindu serta kepercayaan lama masyarakat Aceh yang semakin ditumbuh kembangkan. Selanjutnya setiap pelaksanaan aktivitas adat dalam ritualnya mencoba membungkus dengan ucapan-ucapan yang berbau Islami (seperti; Bismillah, ataupun surat Alfatihah) agar tampak bahawa ini adalah sesuatu yang dibenarkan serta mempunyai nilai kesakralan untuk dilaksanakan di tengah kehidupan masyarakat Islam di Aceh. Adakah peran institusi-instutusi maupun organisasi-organisasi Islam pengamal sunnnah seperti Muhammadiyah yang menyatakan sebagai penegak serta pembaharu ke-Islaman (tajdid) dalam aktivitasnya yang berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasulullah Muhammad SAW melaksanakan tugasnya dengan baik serta konsisten? Aktivitas dan para pelaku adat menyatakan bahwa Muhammadiyah-lah yang telah mengurangi serta ikut menggrogoti aktivitas adat dan budaya dengan dengan menyatakan sebagai aktivitas yang bercampur unsur “syirik” ataupun tuduhan aktivitas adat bersifat TBC (tahayul, bid’ah dan khurafat) berkembang di tengah masyarakat Islam di Aceh.  

            Tgk Muhammad Taufan salah seorang tokoh masyarakat adat di Lhokseumawe menyatakan bahwa, telah terjadi pergeseran dalam ritual adat dan resam di Aceh (lhokseumawe) yaitu; Pertama, kenduri Laut (khanduri Laot); Kedua, kenduri Sawah (khanduri Blang); Ketiga, kenduri Gunung (khanduri Gle); Keempat, kenduri Jalan/lorong (khanduri Jurong); Kelima, kenduri Maulidurrasul (khanduri Maulod); dan keenam, kenduri kuburan (khanduri Jeurat). Hal ini semua akibat daripada berkembangnya budaya luar, globalisasi, perilaku, sikap hidup, materialisme dan dakwah serta aktivitas yang dilakukan oleh organisasi Muhammadiyah di tengah masyarakat Aceh.

Selanjutnya Tgk Taufan menyatakan, dalam pelaksanaan aktivitas ritual adat dan resam dalam masyarakat Aceh tradisional berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya di Aceh. Dalam hal ini penyembelihan hewan atau binatang kurban untuk ritual tersebut juga berbeda dalam pelaksanaannya. Seperti kerbau untuk khanduri laot, kambing untuk khanduri gle, domba untuk khanduri jurong ditambah bubur kanji serta “bu kulah” (nasi terbungkus daun pisang, red). Semuanya ini tergantung kepada filosofis kenduri dan juga hewan serta binatang yang disembelih. Kanduri Maulod sesungguhnya persembahan untuk Pang Ulee (Panglima Tertinggi, red) Rasulullah Muhammad SAW, kemudian disajikan makanan tambahan ikan yang hidup di air dan lemak buah pisang, seperti kolak, “peungat” sajian tambahan yang dimakan dengan masakan dari beras ketan. Selanjutnya dalam pemahaman masyarakat Aceh pelaksanaan kenduri Maulidurrasul (kanduri Maulod) dapat berlangsung selama 3 (tiga) atau 4 (empat) bulan, ini dimulai dari bulan Rabi’ul Awwal, Rabi’aul Akhir, Jumadil Awwal dan Jumadil Akhir. Dimana diyakini secara turun temurun bahwa bulan dan tanggal lahir Nabi Muhammad berbeda dalam penetapan ataupun tafsir terhadap tanggal dan bulan lahir.

            Tgk Taufan juga menyatakan bahwa, ilustrasi tentang simbol kehidupan pada alam sekitarnya menurut kepercayaan adat resam seperti, tanda pelepah kelapa yang ada di tengah pematang sawah untuk keseimbangan kehidupan alam dan persekitaran yang ada. Demikian juga pelepah pinang yang dibentuk seperti perahu diisi dengan bubur kanji pada persembahan kanduri tolak bala (rabu abeih, red), hal ini dimaksudkan untuk makanan ikan dan binatang air lainnya di kehidupan sungai. Ini dilakukan pada bulan Safar untuk kenduri tolak bala agar diberikan keselamatan bagi ummat manusia.

            Kemudian Drs. Tgk. H. Baihaqi Muhammad (Mantan Ketua Muhammadiyah Aceh Utara dan juga Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman Lhokseumawe menyatakan bahwa, dalam aktivitas sehari-hari peran dakwah Muhammadiyah secara terus-menerus melakukan pemberantasan aktivitas masyarakat kegiatan yang berbau atau bernuansa  Tahayul, Bid’ah dan Khurafat (TBC), karena ini cenderung kepada kehidupan masyarakat yang bersifat syirik. Selanjutnya yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan Maulid Rasulullah Muhammad SAW yang dilaksanakan oleh Muhammadiyah dengan cara dakwah/ceramah, yang mana dalam pelaksanaan Maulid Rasulullah Muhammad SAW, dimana juga terdapat perbedaan pandangan dengan kelompok Salafi berkaitan dengan pemahamn dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Dimana kelompok Salafi dalam pelaksanaan tidak ada pengajian dalam rangka pelaksanaan Maulid Rasulullah Muhammad, akan tetapi pelaksanaan Maulid Rasulullah Muhammad SAW di kalangan Muhammadiyah dilakukan dengan kegiatan lainnya seperti pertandingan atau perlombaan bagi anak-anak, aktivitas lainnya dalam masyarakat dan remaja.

            Tgk Baihaqi juga menyatakn, kenduri laut (khanduri Laot) sebaiknya tidak dikaitkan dengan ritual tolak bala, aktivitas ini dinilai khurafat, apalagi dengan cara membuang kerbau ke laut. Pada dasarnya selain daripada Muhammadiyah yang berkaitan dengan dakwah terhadap aktivitas budaya dan adat setempat yang bertentangan dengan Islam, hal ini bahkan lebih keras dilakukan oleh kelompok Salafi, karena kelompok Salafi lebih keras melawan terhadap kearifan lokal tersebut. Selanjutnya yang berkaitan dengan Maulid Rasulullah Muhammad SAW perlu diingat bahwa ini bukanlah tolak bala dalam masyarakat, yang tahu dan berkinginan untuk membuat kenduri ada hubungan membuat kenduri, namun demikian yang membuat kenduri tidak tahu ada hubungan ataupun tidak.

            Dalam hal ini bagi para kalangan nelayan serta para pencari kehidupan dilaut, menilai demikian pentingnya kenduri laut ini. Tgk Ilyas Bunthok sebagai pegiat adat resam dan mantan Ketua Panglima Laut Lhokseumawe menyatakan, pelaksanaan kenduri laut (khanduri laot) ini biasa dilakukan setelah Hari Raya Haji (Idul Adha), dalam hal berkaitan dengan dana untuk kenduri diusahakan dari masyarakat nelayan. Yang paling penting bahwa syarat 1 (satu) kerbau, sapi dan kambing secukupnya untuk mempercantik hidangan pada saat kenduri dilaksanakan.

            Tgk Ilyas menyatakan juga, dalam prosesi kenduri laut (khanduri laot), dimana kerbau dibawa ke tepi laut yang dibungkus dengan kain putih, kemudian kerbau disembelih kepalanya dibuang ke laut, dengan cara berdo’a 1 (satu) orang Tengku diikutsertakan menaiki boat ikan ke tengah laut untuk berdo’a menjelang kepala kerbau dilemparkan ke laut. Barulah setelah ritual di laut tersebut berlalu, kemudian dilakukan kenduri di sekitar kuburan sebanyak 1000 anak yatim. Dalam hal kenduri ini dilakukan setelah kerbau dibuang ke laut agar proses ritual yang dilakukan tidak terganggu, seterusnya baru boleh dilaksanakan kenduri. Syarat sembelihan yang dibuang ke laut harus kerbau karena kerbau dapat berenang, sebagai penyelamat. Dikatakan juga 1 (satu) ekor kerbau ini dilakukan untuk mencegah ria, sehingga prinsipnya 1 (satu) ekor saja. Dalam hal ini juga dilakukan dengan berdo’a selama 7 hari dan juga mengaji Al-Qur’an, kemudian pada hari ke 7 (tujuh) barulah kerbau tersebut disembelih. Berkaitan dengan 7 (tujuh) hari 7 (tujuh) malam, hal ini dipahami bahwa kulit dan isi dalam kerbau tersebut telah hancur. Kemudian jarak untuk melaksanakan pembuangan ke laut 3 (tiga) mil (5,2 atau sekitar 4,8 KM) dari lepas pantai. Hal ini dimaksudkan agar kerbau yang dipersembahkan untuk laut ataupun binatang laut, yang mana kenduri dilakukan untuk Allah diharapkan agar memberikan rezeki kepada masyarakat nelayan. Dalam pelaksanaan kenduri laut antara satu daerah dengan yang lainnya berbeda kenduri dilakukan untuk ikan. Pengharapan untuk mendapatkan keuntungan tersebut sangat besar bagi kalangan nelayan sebagai masyarakat tradisional yang melaksanakan kenduri laut tersebut.

            Kemudian Tgk Ilyas menyampaikan, dalam hal ini bagi kehidupan masyarakat pesisir pantai ataupun nelayan bahwa kenduri laut ini sangat sakral, jika tidak dilakukan maka dianggap tidak menyatu dengan laut. Adapun hal tersebut dilakukan dengan harapan yaitu: Pertama, membangkitkan semangat nelayan; Kedua, penyatuan dengan kehidupan laut pada saat mencari rezeki. Dalam pelaksanaan kenduri laut sepenuhnya dana dari masyarakat pesisir pantai, sementara itu dari pemerintah hanya berupa sumbangan untuk menambah semaraknya acara kenduri tersebut, agar dapat dinikmati oleh masyarakat luas. Apabila terjadi pelanggaran oleh nelayan, maka rezeki menjadi susah, sama halnya seperti ritual yang seluruhnya dilanggar. Dalam perkembangan dunia modern, menggunakan sistem teknologi oleh nelayan, maka keseimbangan kehidupan biota laut banyak yang dilanggar dan dirusak. Oleh karena itu resam sebagai ketentuan adat yang merupakan “perocial culture” ini mesti dipatuhi. Dalam hal ini peranan orang tua sangat menentukan. Pantangan setelah kenduri laut dimana selama 3 (tiga) hari tidak boleh melaut, ini jika dilakukan juga berarti melanggar pantangan ataupun larangan. Dalam hal ini tujuannya adalah agar kehidupan laut tenang demikian juga dengan kehidupan ikan di laut.

            Secara tegas dikatakan oleh Tgk Ilyas bahwa, dalam hal ini ulama Muhammadiyah melarang untuk mengadakan kenduri laut, akibatnya hasil tangkapan ikan dari laut berkurang selama 10 (sepuluh) tahun ini. Dimana alasan daripada para ulama kenduri laut merupakan budaya agama Hindu, sementara dalam adat para nelayan pesisir pantai, ini dilakukan sebagai sedekah untuk kelompok ikan. Seperti halnya larangan daripada Tgk Syamaun Risyad ulama alumni Timur Tengah (Saudi Arabia), dimana larangan ini tidak menjadi kekacauan, keributan serta dalam kehidupan masyarakat nelayan selama 10 (sepuluh) tahun. Kenduri yang lebih besar (ria), hal itu hanya keinginan  masyarakat nelayan bukan keinginan ulama. Hal yang diutamakan adalah keserasian para ulama untuk menjaga kelestarian adat, dimana adat dan budaya di Aceh ini besar kemungkinan dipengaruhi oleh budaya Hindu, yang mana budaya Hindu yang telah di-Islamkan. Pada saat ini adat dan budaya sudah mulai berkurang dan hilang. Dalam hal ini pula untuk tahun 2013 kenduri laut tetap direncanakan untuk dilaksanakan, karena selama ini sudah 6 (enam) tahun tidak kenduri di laut Lhokseumawe.

            Dalam hal ini DR. Tgk Ajidar, MA sebagai Pimpinan Dayah Tinggi Samudra Pasee dan juga Dosen IAIN Arraniry Banda Aceh menyatakan, dalam hal ini sempitnya pemahaman tentang agama Islam sering mempermasalahkan tentang Sunnah, akan tetapi tidak mampu menjelaskan sunnah yang sebenarnya, hal ini dikarenakan sempit dan rendahnya ilmu tentang agama Islam yang sesungguhnya. Lebih lanjut melakukan pembusukan terhadap pemahaman sunnah, karena tidak adanya pencerahan terhadap kehdupna ke-Islaman secara baik dan benar menurut pemahaman As-Sunnah yang dilakukan dalam kehidupan masyarakat Islam, dengan cara melakukan pencerahan keagamaan dalam masyarakat. Terutama pencerahan mengatasi penyimpangan terhadap pemurnian aqidah. Dalam hal ini tantangan pencerahan terhadap pemurnian aqidah adalah fitnah yang dikembangkan oleh kelompok tradisional. Selanjutnya perubahan pemikiran pendangkalan pemurnian aqidah yang berlaku dalam kehidupan masyarakat disebabkan oleh penyampaian ceramah oleh para tokoh Ulama tradisional.

Ditambahkan Tgk Ajidar bahwa, dalam konteks ibadah sesungguhnya tidak ada istilah tradisi, yang hanya ada tradisi adalah dalam perihal duniawi saja. Demikian juga kenduri orang meninggal dunia 3, 7, 10, 40, 100 hari ini asalnya dari agama Kristen. Kemudian yang ada diperintahkan pada orang meninggal adalah melaksanakan “Takziah” selama 3 (tiga) hari, tujuan daripada takziah adalah menyenangkan keluarga orang yang meninggal. Pada dasarnya pencerahan aqidah sejak Aceh Damai sudah dapat dilakukan. Dimana adat dan resam serta istiadat dapat saja berkembang jika disampaikan secara baik dan benar. Dalam hal ini adat serta resam tradisional jika didukung oleh Tengku dan Ulama maka akan semakin membesar. Namun sebaliknya yang berlawan dengan adat resam dianggap sesat, Wahabi dan Muhammadiyah. Disini peranan ulama dayah/tradisional masih sangat kental dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, jika mendapat dukungan Majlis Permusyawaratan Ulama (MPU) dan pemerintah, maka adat istiadat itu akan dilaksanakan secara ria dan besar-besaran. Oleh karena itu para intelektual dan Ulama perlu di”renew”, jika ibadah tidak ada tuntunan dalam hal ibadah dan mencampuradukkan dengan adat istiadat tidak semestinya dilakukan oleh masyarakat. Disini tampak bahwa masyarakat “panik”, dimana disebabkan oleh ulama dan tokoh melaksanakan ibadah yang tidak jelas tuntunannya, sebaliknya resiko bagi yang tidak ikut serta ibadah yang tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah Muhammad SAW.

            Disampaikan juga oleh Tgk Ajidar bahwa, dalam pencerahan pemurnian aqidah agama Islam di Aceh, hal ini akan semakin baik jika kondisi “damai” dapat dimanfaatkan untuk pencerahan dan pemurnian Aqidah Islam. Dimana berhubungan dengan perkembangan adat istiadat yang tidak sesuai dengan aqidah Islam selama ini mendapat dukungan politik dari kelompok yang mempunyai kepentingan. Sehingga pelaksanaan hukum dan pelaksanaan syariat juga banyak berlaku pelanggaran.

Dalam hal ini Tgk.. H. Syamaun Risyad, LC selaku Pimpinan Pesantren Modern Ulumuddin Uteun Kot Lhokseumawe menyatakan bahwa, Setelah “fatwa syirik” terhadap kenduri laut (Majlis Ulama-MU Lhokseumawe 2003/2004), dimana secara tradisional kenduri laut dianggap merupaan hadiah nelayan kepada masyarakat nelayan tradisional. Dimana pelaksanaan kenduri laut sudah tidak lagi dilakukan seperti cara-cara lama, yang mana telah terjadi pergeseran berkaitan dengan acara persembahan untuk laut. Jika dilakukan untuk persembahan, dari awal dengan “niat” saja sudah syirik hukumnya, perubahan hal ini dapat diterima oleh masyarakat. Dalam hal ini reaksi masyarakat sebelumnya ada perubahan, diantara setelah ada larangan, juga berkaitan dengan sebelum adanya larangan. Disamping itu tanggapan para intelektual Islam baik dan bagus. Dalam hal larangan kenduri laut tidak dapat dikatakan hanya andil Muhammadiyah saja banyak pihak serta ulama dan para pembaharu Islam lainnya ikut-serta menyampaikan dakwah tersebut.

Selanjutnya ditambahkan Tgk H Syamaun Risyad bahwa, kenduri-kenduri yang dilakukan oleh masyarakat tradisional itu cenderung banyak kepada pekerjaan khurafat. Hal ini juga seperti, tepung tawar (peusijuk, red), sebenarnya ini ritual agama Hindu sebagaimana tolak bala di Bali, ini juga dilakukan dengan dibuang binatang/hewan ke laut dan tidak dimakan. Kemudian kenduri kematian tidak sesuai dengan Sunnah Rasulullah Muhammad SAW, sweharusnya ini juga dilarang untuk tidak dilakukan. Kemudian kenduri Maulid Rasulullah Muhammad SAW sampai-sampai 4 (empat) bulan, hal ini tidak ada dasar hukumnya, jadi hanya menggunakan hadist palsu dan dipopulerkan oleh Salahuddin Al-Ayyubi yang selanjutnya mengaitkan dengan ulama lama yang menyebutkannya.

Tgk. Syamaun selanjutnya menyatakan, kemudian juga budaya Hindu yang di-Islamkan, hal ini menjadi masalah dalam ibadah Islam. Pada saat pelaksanaan seperti tepung tawar (peusijuk) begitu dibacakan Bismillah hal itu senbenarnya sudah menjadi masalah, karena melakukan pencampuran ritual dan ibadah dalam agama. Dalam hal ini Islam itu wahyu Allah SWT, bukan dibuat-buat sekehendak hati. Oleh karena itu, ibadah itu berdasarkan “Nash atau dalil” dan kitab yang sesungguhnya. Jika terjadi pelanggaran terhadap pemurnian aqidah, ini dikarenakan guru dan pengkultusan guru, demikian juga untuk kepentingan ekonomi guru dan Teungku itu sendiri.

Drs. H. M. Nur Juned Tokoh Muhammadiyah Aceh barat, Meulaboh dan Drs. H Junaidi Nasution selaku Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Aceh Barat, Meulaboh menyatakan, aktivitas kenduri yang bermacam-macam mengikut petunujuk adat dan didukung oleh ulama tradisional serta tokoh adat banyak yang melanggar aqidah Islam. Seringkali antara petunjuk adat yang bercampur aduk dengan budaya lama seperti pemahaman agama Hindu semakin berkembang dalam masyarakat Aceh Barat karena mendapat dukungan secara politik oleh para elit politik yang berkepentingan dengan masyarakat. Dalam usaha pemurnian aqidah Muhammadiyah juga bekerjasama dengan organisasi Islam lainnya yang sefaham dan sepakat dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Muhammad SAW. Usaha untuk melaksankan dakwah amar makruf nahi munkar meskipun terus mendapat tantangan secara adat, ulama dan Teungku yang berfahamkan tradisional dalam kehidupan masyarakat.

            Ditambahkan oleh Nur Juned dan Junaidi bahwa, dimanapun juga sebenarnya tantangan dakwah dalam memurnikan aqidah tetap sama, hanya saja karakteristik masyarakat dapat saja berbeda-beda sesuai dengan adat-istiadat setempat. Dalam kehdiupan masyarakat adat dan tradisional seolah-olah Muhammadiyah dianggap yang menjadi pihak yang membatasi aktivitas adat-istiadat. Sebenarnya kita tidak melarang sejauh tidak dilakukan pencampuradukan antara ketentuan serta tutunan Islam yang berdasarkan kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Muhammad SAW denga ritual adat. Jika ada pencapuradukkan itu yang sama kita tidak sepakat. Islam itu Agama Allah yang ditrunkan melalui Rasulullah Muhammad SAW, sementara ritual adat-istiadat yang memasukkan tata cara pelaksanaan dengan memasukkan ucapan Bismillah, Alfatihah dan do’a-doa lainnya ini nsudah menjadi salah dalam pelaksanaannya. Karena itu tantangan pemurnian aqidah dengan kelompok adat menjadi bertolak belakang dan tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Dalam hal ini aktivitas dakwah Islam dalam berkaitan dengan pemurnian aqidah juga ikut terbantu dengan beberapa da’i yang sefaham dalam menjalankan sunnah. Menyikapi semakin tingginya frekwensi usaha mencampur- adukkan antara ibadah secara Islam dengan ritual adat istiadat tradisional masyarakat ini mempunyai cara tersendiri bagi Muhammadiyah, agar dakwah-dakwah yang dilaksanakan oleh Muhammadiyah dapat berjalan dengan baik. Masyarakat adat serta masyarakat Islam pada umumnya masih memerlukan bimbingan ke-Islaman sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasulullah Muhammad SAW secara arif dan bijaksana ditengah kemelut kepentingan untuk memajukan adat-istiadat dan usaha memajukan peradaban Islam.

            Buyong, masyarakat nelayan Ujong Kalak Meulaboh, Aceh Barat menyatakan bahwa, persembahan kepala kerbau dilakukan di laut Meulaboh sebanyak 3 (tiga) kepala kerbau, ini masih dilakukan denga tetap menggunakan usaha dari kelompok nelayan dan adat. Palaksanaan ini dilakukan dengan melibatkan para Teungku yang sejalan dengan pemikiran masyarakat nelayan tradisional dan adat. Tujuan pelaksanaan kenduri laut disini agar kehidupan nelayan lebih diuntungkan setelah pelaksanaan dilakukan, demikian juga rezeki yang diberikan Allah dengan cara mencari ikan di laut semakin bertambah banyak dan menguntungkan. Pelaksanaan kenduri laut ini dinilai sangat sacral bagi masyarakat nelayan, jadi usaha melaksanakan kenduri juga para nelayan tidak segan-segan membuang uang dalam jumlah banyak untuk melaksanakan kenduri laut, karena dikemudian hari diyakini akan mendapat rezeki yang lebih banyak lagi.

            Drs. H. Muharrir Asy’ari, LC, MA selaku salah seorang Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Aceh dan juga Rektor Universitas Muhammadiyah Aceh menyatakan, semakin berkembangnya para ulama modernis mesti berubah dan merubah kehidupan masyarakat dalam hal Tahayul, Bid’ah dan Khurafat (TBC) kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Muhammad SAW, serta tradisi lama yang berkembang dalam kehidupan masyarakat. Dalam pelaksanaan dakwah untuk pemurnian aqidah tidak dapat dikatakan Muhammadiyah itu gagal dalam melaksanakannya. Dimana selama ini di Aceh masyarakat Aceh dihadapkan kepada masalah yang kompleks, Muhammadiyah tidak dapat serta merta masuk ke tengah kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, hal ini masyarakat adat ikut mempengaruhi kehidupan, joika Muhammadiyah bersama-sama dengan para pegiat adat serta amsyarakat adat masuki bersama-sama, maka hal ini dapat memacu konflik, dan juga Muhammadiyah tidak dapat berbuat banyak. Demikian juga berkaitan dengan kondisi yang berseberangan dengan kehidupan tradisional masyarakat luas, hal ini berkaitan dengan cara ibadah serta kondisi politik, dimana Muhammadiyah seperti “down” bahkan tidak mampu berbuat banyak. Karena itu, pasca Muhammadiyah melaksanakan Muktamar 100 (seratus) tahun ataupun (1 abad), ini berlaku transformasi pencerahan di Muhammadiyah, meskipun tidak berlaku secaera drastik tetapi sudah nampak sedikit demi sedikit. Dimana inspirasi Muktamar Muhammadiyah “1 Abad”, menghendaki Muhammadiyah harus berani menyatakan serta menunjukkan “jatidiri” secara eksis di tengah kehidupan masyarakat.

Ditekankan oleh Muharrir bahwa, dalam hal ini perlu digarisbahawahi tidak dapat dikatakan ini merupakan kegagalan Muhammadiyah dalam berdakwah serta mengembangkan amal makruf nahi mungkar, dan juga usaha Muhammadiyah terus berbuat dalam aktivitas dakwah, hanya saja cara dan metode yang dilakukan sudah berbeda dari masa-masa sebelumnya sesuai dengan perkembangan zaman. Muhammadiyah juga tetap menghormati serta menyikapi secara bijaksana dan melakukan dakwah-dakwah yang santun, ini berkaitan dengan usaha-usaha kelompok adat dan resam mengembangkan budaya yang bercampuraduk dalam pelaksanaan ritual adat dan keagamaan, agar tidak terjadi benturan dan konflik di tengah masyarakat.

            Dengan demikian bahwa, perkembangan kehidupan serta ritual adat menjadi perhatian tersendiri, fokus dan  penuh dengan dedikasi serta tanggung jawab dari para Ulama, Teungku dan Ustadzdalam menegakkan agama Islam yang berdasarkan kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Muhammad SAW. Dimana secara keseharian kehidupan serta perilaku adat saat ini di Aceh semakin berkembang juga mendapatkan dukungan secara tradisional dari para Teungku dan Ulama yang sejalan dengan pemikiran Islam tradisional. Seharusnya para Ulama, Ustadz dan Teungku di Aceh mesti menyikapi permasalahan ini secara bijaksana. Jangan sampai percampuran ritual pada saat pelaksanaan kegiatan adat yang ditambah ritual yang bercampur aduk dengan peribadan, ucapan serta do’a-do’a yang dilakukan secara Islam menjadikan “seolah-olah” pelaksanaan aktivitas adat resam, serta pengembangan adat istidat tersebut dinyatakan sebagai, adat istiadat masyarakat Islam Aceh. Sehingga hal ini sesungguhnya perlu difahami serta ditelaah secara lebih mendalam bahwa, “siapa yang membuang sial dan siapa yang beruntung?”Wallahu’alam Bissawab….(fiqar, made dan al)

*) Salah satu kegiatan Pengajian Ahad Shubuh di Masjid Taqwa Muhammadiyah Banda Aceh


Tags: wawancara
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori: Aktivitas Kader PWM Aceh



Arsip Berita

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website