Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Propinsi Aceh - Persyarikatan Muhammadiyah

 Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Propinsi Aceh
.: Home > Berita > MUHAMMADIYAH ACEH KRISIS KADER

Homepage

MUHAMMADIYAH ACEH KRISIS KADER

Senin, 04-03-2013
Dibaca: 2751

Banda Aceh (4/3) Muhammadiyah Aceh saat ini terus malaksanakan dan meningkatkan kemampuan amal usaha dan ibadahnya dalam aktivitas gerakan. Drs. H. Muharrir Asy’ari, LC, MAg (Rektor Universitas Muhammadiyah Aceh-UNMUHA dan juga Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Aceh) menyatakan, Muhammadiyah baik di tingkat pusat, wilayah dan daerah saat ini sudah merasa kekurangan kader, karena itu dilakukan pengkaderan melalui pesantren modern dan perguruan tinggi, ini diharapkan nantinya akan menjadi kader ulama dan kader Muhammadiyah. Oleh karena itu, seharusnya Muhammadiyah sebagai organisasi Islam harus dipimpin oleh seorang ulama yang faham dan mampu terhadap ilmu keagamaan Islam serta luas pengetahuan umumnya.

Semakin berkembangnya para ulama modernis, dimana orang yang faham tentang pendidikan dan pengajaran di Saudi Arabia dan negara-negara Jazirah Arab, ini juga yang mau melakukan perubahan, karena masih ada juga yang tidak mau dan berpegang teguh kepada kebiasaan dan tradisi lama. Sesungguhnya para ulama lulusan Timur Tengah ataupun jazirah Arab mesti berubah dan merubah kehidupan masyarakat dalam hal Tahayul, Bid’ah dan Khurafat (TBC) kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Muhammad SAW, serta tradisi lama yang berkembang dalam kehidupan masyarakat.

Dalam kenyataannya Muhammadiyah saat ini kurang berkaitan dengan melakukan pembinaan terhadap anggotanya, terutama dalam Muhammadiyah sangat kering terhadap nilai-nilai agama. Selanjutnya yang banyak dalam kehidupan masyarakat adalah, orang-orang yang mirip dengan Muhammadiyah ada 2 (dua) yaitu: Pertama, Orang-orang yang mirip dalam melakukan ibadah; Kedua, Orang-orang yang mirip dengan gerakan Muhammadiyah, dimana orang yang mirip dengan gerakan Muhammadiyah biasanya lebih reaktif dan cenderung berpolitik.

Dalam hal ini sesungguhnya Muhammadiyah perlu membina anggota Muhammadiyah dengan “ruh Muhammadiyah”, ternyata hal ini tidak dikembang dengan cara melakukan pembinaan kedalam dan melakukan “evaluasi”. Dimana Muhammadiyah lalai terhadap masalah ini bahkan tidak melaksanakan sama sekali, namun apabila ada masalah cenderung reaktif dengan ideologi Muhammadiyah itu sendiri. Jika dinilai secara objektif bahwa, Muhammadiyah sukses secara kuantitas, namun demikian Muhammadiyah secara ideologi tidak diperhatikan. Hal ini berkaitan dengan kepentingan orang-orang yang masuk ke Muhammadiyah, karena ada ataupun mempunyai kepentingan politik serta mendapatkan rekomendasi, kemudiannya dukungan dari anggota Muhammadiyah dalam kehidupan masyarakat. Namun demikian pada saat dipanggung politik mendapat kesempatan, peluang dan kedudukan lupa kepada oragnisasi Muhammadiyah, akan tetapi pada saat tidak terpakai lagi kembali ke Muhammadiyah.

Hal yang sama disampaikan oleh Tgk. H. Syamaun Risyad, LC (Pimpinan Pesantren Modern Ulumuddin, Uteun Kot, Lhokseuma, juga Ulama Lhokseumawe, bahawa dalam hal ini ada kritikan terhadap Muhammadiyah, dimana pada dasarnya Muhammadiyah adalah untuk memurnikan aqidah Islam, akan tetapi sekarang lebih banyak berfokus kepada aktivitas bisnis dengan membuat serta membangun amal usaha. Jadi tidak lagi terfokus kepada pemurnian aqidah Islam. Dimana aktivitas pemurnian aqidah Islam sudah diambil alih oleh organisasi lainnya dan para ulama serta Teungku lain-lain sebagainya. Dengan demikian, telah terjadi pergeseran peranan gerakan Muhammadiyah telah berfokus kepada aktivitas bisnis dan materialisme. Hal ini semua disebabkan pendidikan agama kader Muhammadiyah dalam melaksanakan pengkaderan tidak diutamakan lagi.

Akan tetapi peran gerakan dakwah Muhammadiyah saat ini sedikit agak terbantu dengan adanya serta hadir para alumni Timur Tengah (jazirah Arab) yang melaksanakan dakwah seperti yang selama ini dilaksanakan oleh Muhammadiyah. Sehingga adanya kebencian para ulama tradisional terhadap alumni Timur Tengah (jazirah Arab), bahkan diawasi gerak-geriknya sehari-hari. Hal ini didukung oleh Majlis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA) yang dimanfaatkan oleh elit politik Aceh. Disamping itu pergeseran dalam pelaksanaan ibadah yang melaksanakan “Tarekat”, ini semua karena kehilangan pekerjaan dan berusaha menciptakan aktivitas baru.

Dalam perkembangan gerakan dakwah di tengah masyarakat Aceh DR.Tgk Ajidar, MA (Pemimpin Dayah Tinggi Samudra Pasee, Alue Ie Puteh dan juga Dosen Usuluddin IAIN Arraniry Darussalam, Banda Aceh) mengatakan bahwa, dalam kehidupan masyarakat adat dan tradisional alergi mendengar nama Muhammadiyah, dimana hal ini dianggap identik dan atau beda dengan Wahabi. Sesungguhnya Muhammadiyah itu organisasi dan tidak sama dengan Wahabi, dan juga bukan agama karena Islam bukan agama baru ataupun aliran, dimana Muhammadiyah sesuai dengan Sunnah Rasulullah SAW. Oleh karena itu masyarakat adat melakukan pembusukan terhadap organisasi Muhammadiyah yang dikatakan sebagai aliran baru.

            Sebagimana dalam aktivitas agama Islam yang sesungguhnya, ini disampaikan oleh Muhammadiyah umpamanya bahwa tidak khafarat Shalat, yaitu orang meninggal yang tidak melaksanakan ibadah pada masa hidupnya. Dalam hal ini bahwa khafarat Shalat merupakan pelecehan terhadap agama Islam. Dalam kehidupan keagamaan beda pendapat antara murid dengan guru dalam hal ibadah ini tidak ada masalah, bukan dianggap sebagai “durhaka”. Dimana dalam Islam yang ada adalah “durhaka terhadap orang tua jika bertentangan dengan orang tua”. Jadi hal ini sering dipelintirkan bahwa jika tidak sefaham dengan guru dianggap sebagai “durhaka”, ini menjadi permasalahan dakwah bagi yang mencoba menegakkan hal-hal Sunnah di tengah masyarakat dan melakukan pencerahan sesuai dengan Sunnah Rasulullah Muhammad SAW.

            Dalam kehidupan masyarakat berkaitan dengan Ahlussunnah, sehingga timbul pertanyaan, siapa ahlussunnah? Bahkan mereka tidak mengetahui sesungguhnya, apa itu Ahlussunnah? Dalam hal ini sempitnya pemahaman tentang agama Islam sering mempermasalahkan tentang Sunnah, akan tetapi tidak mampu menjelaskan sunnah yang sebenarnya, hal ini dikarenakan sempit dan rendahnya ilmu tentang agama Islam yang sesungguhnya. Lebih lanjut melakukan pembusukan terhadap pemahaman sunnah, karena tidak adanya pencerahan yang dilakukan dalam kehidupan masyarakat, oleh karena itu beberapa orang alumni Timur Tengah (jazirah Arab) melakukan pencerahan keagamaan dalam masyarakat. Terutama pencerahan mengatasi penyimpangan terhadap pemurnian aqidah. Dimana tantangan pencerahan terhadap pemurnian aqidah adalah fitnah yang dikembangkan oleh kelompok tradisional. Selanjutnya perubahan pemikiran pendangkalan pemurnian aqidah yang berlaku dalam kehidupan masyarakat disebabkan oleh penyampaian ceramah oleh para tokoh Ulama tradisional.

Pada prinsipnya kitab yang digunakan tokoh ulama sama di seluruh Aceh. Dalam hal penyampaian ceramah semestinya berdasarkan dalil yang dapat diterima oleh masyarakat. Dimana kebenaran berdasarkan dalil yang benar. Namun demikian, pada saat menyampaikan ceramah sesungguhnya secara benar kepada masyarakat, maka masyarakat mendapat ilmu yang benar. Sebaliknya hal yang berkenaan dengan kebenaran isi kitab tidak disampaikan sebagaimana tertulis pada kitab tersebut, karena tidak sesuai dengan tradisi lama.

Ustadz Drs. Baihaqi Muhammad (Tokoh Ulama/ Mantan Pimpinan Muhammadiyah Aceh Utara, Lhokseumawe dan Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman Lhokseumawe) manyatakan bahwa, dalam aktivitas sehari-hari peran dakwah Muhammadiyah secara terus-menerus melakukan pemberantasan aktivitas masyarakat kegiatan yang berbau atau bernuansa  Tahayul, Bid’ah dan Khurafat (TBC), karena ini cenderung kepada kehidupan masyarakat yang bersifat syirik. Selanjutnya yang berkaitan dengan tuduhan yang menyatakan bahwa Muhammadiyah itu sebagai Wahabi, bahwasanya organisasi Muhammadiyah itu bukan Wahabi, demikian juga Muhammadiyah tidak membenci Wahabi. Pada dewasa ini Muhammadiyah dalam melaksanakan dakwah dibantu oleh alumni Timur Tengah (jazirah Arab), dimana bersama-sama meluruskan aqidah, tetapi kerjasama yang dilakukan dalam bentuk resmi berupa penandatanganan “Memorandum of Understanding (MoU)” ini tidak ada.

Kemudian, Dalam melaksanakan dakwah Muhammadiyah, ceramah tentang adat resam, ini dilaksanakan dalam lingkungan Muhammadiyah dan keluar lingkungan Muhammadiyah, juga di Masjid yang melaksanakan serta mengamalkan Sunnah Rasulullah Muhammad SAW. Dimana yang diharapkan adalah Sunnah Rasulullah Muhammad SAW dapat terlaksana dengan baik. Dalam usaha pelurusan aqidah di Masjid di luar Muhammadiyah sampai dengan saat ini masih terus dilaksanakan dan tetap konsisten dengan Sunnah. Disamping itu antara Muhammadiyah dengan Majlis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA) sepertinya ada persaingan secara terselubung ataupun tersembunyi.

            Dalam aktivitas Muhammadiyah di Aceh Utara dimana perkembangannya pada masa ini agak kurang bergairah atau bersemangat. Akan tetapi usaha pengembangan aktivitas Muhammadiyah masih terus dilakukan. Dalam hal kader di Muhammadiyah memang sedikit ada persoalan ketidak siapan menciptalkan kader yang handal dan faham masalah keagamaan secara lebih baik dan sempurna, ini menjadi perhatian utama sesungguhnya dalam organisasi Muhammadiyah.

            Selanjutnya Tgk Ismail Abubakar (Imum Mesjid Kuta Blang Kabupaten Bireuen) dan Tgk Azhari (Imum Mukim Kuta Blang Bireun Kabupaten Bireuen) menyatakan, tantangan dakwah dalam aktivitas kehidupan keagamaan Islam di tengah masyarakat adalah berkembangnya cara-cara tradisional yang dikaitkan dengan ritual keagamaan. Aktivitas adat-istiadat dalam masyarakat tradisional dikudung oleh para ulama dan Teungku dayah-tradisional. Jadi istilah percaya apa kata guru menjadi kunci pelaksanaan yang dapat menggangu pemurnian aqidah yang sesungguhnya, sehingga terjadi percampuran pelaksanaan adat-istiadat dengan cara-cara ibadah secara Islam.

            Umumnya ritual kenduri banyak bercampur aduk dengan tradisi yang bertentangan dengan cara-cara ibadah Islam berdasarlkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Muhammad SAW. Hal ini semakin berkembang karena mendapatkan dukungan secara politik dari para elit politik dan pemerintahan yang berkepentingan dengan masyarakat untuk maksud-maksud tertentu. Selanjutnya aktivitas melakukan dakwah dalam memurnikan aqidah dalam kehidupan masyarakat tradisional selalu dikaitkan dengan usaha-usaha Muhammadiyah yang bertentangan aktivitas adat dan budaya tradisional Aceh.

Dalam hal ini, M Nur Juned (Tokoh Muhammadiyah Kabupaten Aceh Barat) dan Junaidi Nasution (Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Aceh Barat) menyampaikan bahwa, usaha sepenuhnya yang dilakukan Muhammadiyah tidak mudah, tantangan yang dihadapi juga bermacam-macam. Dengan kemampuan yang terbatas serta sarana penunjang seadanya Muhammadiyah Aceh Barat terus berdakwah dalam memurnikan aqidah ummat, meskipun selama ini dengan berkembangnya aktivitas adat yang demikian meluas, tetapi kita berusaha dengan cara-cara yang lebih arif agar masyarakat dapat menerimanya dengan baik. Sehingga usaha melaksanakan dakwah sesuai dengan tuntunan dan pedoman yang benar berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Muhammad SAW dapat terlaksana dengan baik. Dimanapun juga sebenarnya tantangan dakwah dalam memurnikan aqidah tetap sama, hanya saja karakteristik masyarakat dapat saja berbeda-beda sesuai dengan adat-istiadat setempat.

Pada masa ini Muhammadiyah mengalami krisis kader yang mampu berdakwah dengan baik menghadapi tantangan yang berkaitan dengan usaha memurnikan aqidah Islam, meskipun demikian dakwah amar makruf nahi mungkar terus dilakukan. Dalam hal ini aktivitas dakwah Islam dalam kaitan dengan pemurnian aqidah juga ikut terbantu dengan beberapa da’i yang sefaham dalam menjalankan As-Sunnah. Menyikapi semakin tingginya frekwensi usaha mencampur-adukkan antara ibadah secara Islam dengan ritual adat istiadat tradisional masyarakat, ini mempunyai cara tersendiri bagi Muhammadiyah, dalam pengertian menjaga sikap dan aktivitas dakwah yang tidak sampai menimbulkan kegaduhan di tengah kehidupan masyarakat, agar masyarakat adat serta masyarakat umumnya tidak membenci Muhammadiyah, agar dakwah-dakwah yang dilaksanakan oleh Muhammadiyah dapat berjalan dengan baik.

Demikian juga Drs. Made Jakfar Abdullah, MA (Aktivis Pemuda Muhammadiyah tahun 1977-1990an, juga Candidate Doktor Falsafah (PhD) Ilmu Sosial Kegamaan Universiti Sains Malaysia-USM), yang aktif melakukan pengkaderan di Pemuda Muhammadiyah Aceh sejak tahun 1977, dan pernah menjabat Sekretaris Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Aceh sekitar tahun 1980-an), menyatakan bahwa, pada masa lalu pengkaderan di Muhammadiyah khususnya Pemuda Muhammadiyah dilakukan secara berjenjang dan terstruktur. Buku Paduan Pengkaderan Muhammadiyah yang diterbitkan oleh Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah menjadi acuan utama, sehingga diharapkan pengkaderan di Pemuda Muhammadiyah menjadi “Kader Muhammadiyah, Kader Ummat dan Kader Bangsa” hal ini sangat prinsipil. Jadi usaha pengkaderan yang dilakukan memang diusahakan seefektif mungkin dengan materi yang sempurna dari segala bidang ilmu pengetahuan, demikian juga penekanan kepada Ke-Muhammadiyahan, Kepemimpinan dan agama Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Muhammad SAW. Ini semua dilaksanakan dengan semangat “fastabiqul khairat” mendapatkan dukungan dari seluruh unsur Pimpinan Muhammadiyah juga Pimpinan Aisyiyah, jadi hanya dengan semangat “ruh Muhammadiyah pengakderan selalu dapat dilaksanakan, meskipun secara pendanaan jauh dari cukup.

Dengan demikian kita masa itu tidak terlalu khawatir mengalami krisis kader karena kita terus melaksanakan pengkaderan seefektif serta seefisien mungkin dengan mengandalkan semangat ke-Muhammadiyah tanpa berfikir materi terlebih dahulu untuk melaksanakan aktivitas pengkaderan dalam Muhammadiyah. Hal ini sangat terbantu dengan dukungan moril, spirituil dan lain sebagainya dari Pimpinan Muhammadiyah serta Aisyiyah di seluruh Aceh setiap kali kita mengadakan pengakderan secara rutin dan berjenjang.

Oleh karena itu, sebagai evaluasi diri dan memperkuat jati diri Muhammadiyah untuk saat ini serta masa yang akan datang, sebaiknya kita menyadari Muhammadiyah yang semakin besar dan aktif dalam kehidupan masyarakat, saat ini penuh dengan tantangan serta menghadapi dinamika kehidupan yang samakin kompleks. Ada baiknya memikirkan secara konsekwen untuk menciptakan kader yang handal, juga tetap menjadikan sebagai organisasi Islam amak makruf nahi mungkar, bergerak dalam bidang sosial, ikhlas dalam beramal. Ini sesuai dengan motto Muhammadiyah yang disampaikan oleh pendiri Muhammadiyah K.H. Ahmad Dahlan, “Hidup-hidupkanlah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah”. (fiqar&al)


Tags: Rutinitas/Kegiatan Muhammadiyah Aceh
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori: PWM Aceh



Arsip Berita

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website